RUU TNI Resmi Disahkan: Supremasi atau Militerisasi Sipil?


Oleh : Zahni Hafizh Atsari, Fernando Novem Pasaribu, dan Siti Zahrotun Nabilah Fauziah Putri, Penulis muda dan anggota Divisi Inovasi dan Riset Literatika.

Pada tanggal 20 Maret 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi undang-undang. Pengesahan ini dilakukan dalam sidang paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, di Gedung DPR RI, Jakarta.

Pengesahan UU TNI tidak lepas dari kritik dan kekhawatiran publik. Beberapa poin kontroversial yang menjadi sorotan adalah penempatan prajurit aktif di jabatan sipil yang membuka peluang masuknya militer ke ranah sipil, sehingga memunculkan kembali kekhawatiran akan dwifungsi dan tumpang tindih peran antara militer dan sipil. Hal ini juga memperhatikan supremasi sipil dan demokrasi di Indonesia, meluasnya perang TNI pada ranah sipil dapat melemahkan kontrol sipil atas militer. Gelombang aksi penolakan UU TNI oleh masyarakat dan mahasiswa terjadi di berbagai daerah, menuntut agar Revisi UU TNI tidak disahkan menjadi undang-undang. 

Pengesahan UU TNI dianggap oleh beberapa kalangan sebagai langkah penting dalam menyesuaikan peran TNI dalam pertahanan negara, namun implementasinya haru memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil serta menghormati tatanan demokrasi di Indonesia.

Kontroversi

Sebagaimana diatur dalam pasal 96 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2022, berbunyi "... setiap Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan, dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat," jelas tersurat kewajiban transparansi dan kemudahan akses bagi masyarakat untuk mengakses naskah akademik, sedangkan dalam proses pengesahan UU TNI, transparansi ini dikesampingkan hingga memaksa gelombang massa menuntut keterbukaan proses.

Tiadanya transparansi publik hingga pengesahan tanpa partisipasi publik yang bermakna (meaningfull public participation) secara nyata bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, juga secara langsung melemahkan domkrasi dan supremasi hukum itu sendiri. 

Revisi undang-undang TNI mencakup beberapa aspek, mulai dari penambahan usia aktfi prajurit TNI, hingga perluasan jabatan sipil yang dapat diisi TNI. 

Tabel perbandingan UU 34 2004 dengan UU
Tabel Perbandingan UU 34 2004 dan revisi
Menangapi diskusi hangat di tengah masyarakat umum, beberapa ahli hukum turut menyampaikan pendapatnya, Prof. Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan HAM menjelaskan bahwa Dwifungsi TNI tak mungkin kembali melalui Revisi UU TNI, hal itu ia sampaikan pada sesi wawancara di televisi swasta.

"Kalau substansi dari yang terakhir kita dengar secara resmi, itu kecenderungan kembali ke dwifungsi tidak ada lagi. Bisa dilihat isinya, bisa dibaca," jelas Prof. Mahfud MD.

Kesimpulan

Pengesahan revisi UU TNI telah memicu berbagai reaksi di masyarakat. Di satu sisi, undang-undang ini bertujuan untuk memperkuat peran TNI dalam menghadapi era modern seperti ancaman siber dan melindungi kepentingan nasional di luar negeri. Namun, di sisi lain, banyak pihak khawatir bahwa perluasan peran militer ke ranah sipil dapat membuka peluang kembalinya dwifungsi ABRI yang pernah terjadi di masa lalu.

Kekhawatiran ini muncul karena revisi UU TNI memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil di lebih banyak kementerian/lembaga. Hal ini dianggap berpotensi mencederai prinsip demokrasi dan supremasi sipil, yang seharusnya menjadi landasan utama negara hukum. Selain itu, proses pengesahan yang minim transparansi dan partisipasi publik juga menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen pemerintah terhadap keterbukaan.

Meskipun para ahli, termasuk Prof. Mahfud MD, menyatakan bahwa revisi ini tidak akan membawa kembali dwifungsi TNI, masyarakat tetap perlu waspada agar undang-undang ini tidak disalahgunakan. Kunci dari penerapan UU TNI adalah memastikan bahwa peran militer tetap berada dalam koridor pertahanan negara tanpa mencampuri ranah sipil secara berlebihan. Demokrasi hanya akan kuat jika supremasi sipil tetap terjaga dan hukum ditegakkan dengan adil.

Referensi:

4 Komentar

  1. Ini bukan cuma soal setuju atau nggak sama revisinya, tapi cara prosesnya kok kayak buru-buru dan kurang terbuka. Padahal kalau ngomongin demokrasi ya harusnya dari awal transparan. salut

    BalasHapus
  2. kerennn kakkk🤍🫡

    BalasHapus
  3. Luar biasa teman teman 🫶

    BalasHapus

Literatika FH UNESA

Bergabung bersama kami!