Vulgaritas Simbol Keadilan: Ketika Dewi Themis Memicu Polemik

Ilustrasi: Julianus
Oleh : Julianus

Koreo Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) di salah satu fakultas hukum memunculkan diskusi hangat ketika Dewi Themis, simbol keadilan dunia, digambarkan dengan gaya modern yang tak biasa. Sebagian melihatnya sebagai bentuk kritik sosial, sebagian lain menilainya sebagai langkah yang kurang pantas.

Fenomena Dewi Themis ber-crop top dalam koreo PKKMB salah satu fakultas hukum ini menjadi menarik karena menyentuh dua ranah sekaligus: simbol hukum yang sarat makna filosofis dan kebebasan berekspresi dalam seni modern.

Dewi Themis sejak lama dikenal sebagai simbol keadilan dalam mitologi Yunani. Sosoknya digambarkan sebagai sosok wanita dewasa, yang berparas cantik, mengenakan pakaian yang berkibar, menutupi tubuhnya yang anggun dan agung. Di tangannya ia memegang timbangan sebagai lambang keseimbangan, pedang sebagai simbol ketegasan, serta penutup mata yang melambangkan keadilan yang objektif dan tidak memihak. Nilai-nilai ini kemudian diadopsi dalam banyak sistem hukum, termasuk di Indonesia. Walaupun Indonesia sudah menggunakan pohon beringin sebagai lambang keadilan yang resmi sejak 1960, tetap saja banyak prinsip yang diadopsi dari Dewi Themis yang dianggap sebagai representasi cita-cita keadilan yang ideal.

Namun, di era modern, simbol-simbol klasik sering mengalami reinterpretasi melalui seni dan budaya. Perkembangan zaman membuat tokoh mitologi kerap dimodifikasi agar sesuai dengan konteks sosial atau pesan tertentu. Fenomena serupa muncul ketika sebuah Fakultas Hukum menampilkan Dewi Themis dengan busana crop top pada sebuah koreo PKKMB.

Visualisasi ini memicu pro dan kontra. Sebagian pihak melihatnya sebagai bentuk kreativitas dan modernisasi, sementara yang lain menganggapnya kurang pantas karena menyentuh simbol hukum yang sarat makna filosofis. Menariknya, pihak yang bersangkutan dalam pembuatan koreo tersebut telah memberikan klarifikasi bahwa penggambaran Dewi Themis yang terkesan vulgar tersebut justru dimaksudkan sebagai simbol bahwa “hukum telah ditelanjangi oleh kekuasaan,” sebuah kritik sosial terhadap kondisi hukum yang dianggap tidak lagi murni dan objektif.

Kombinasi antara simbol klasik, ekspresi seni modern dan kritik sosial inilah yang memunculkan pro dan kontra. Sebagian orang mengapresiasi keberanian dan kreativitasnya, sementara sebagian lainnya menilai bahwa pesan tersebut disampaikan tanpa harus “mengguncang” simbol hukum yang sudah lama dihormati.

Mengapa Hal Ini Memicu Pro dan Kontra?

Fenomena Dewi Themis ber-crop top di koreo sebuah acara PKKMB memicu pro dan kontra karena menyentuh dua hal yang sensitif: simbol keadilan yang penuh nilai historis dan kebebasan berekspresi dalam seni modern.

Di sisi pro, banyak yang melihatnya sebagai bentuk kebebasan berkreasi dan interpretasi terhadap simbol-simbol klasik. Klarifikasi dari yang bersangkutan menyatakan bahwa penggambaran tersebut melambangkan “hukum yang ditelanjangi oleh kekuasaan” memberi makna kritis yang relevan dengan situasi hukum saat ini. Bagi pendukungnya, seni memang berhak untuk berbicara lantang, bahkan lewat simbol yang tidak biasa, selama ada pesan sosial yang ingin disampaikan.

Di sisi kontra, sebagian pihak menilai bahwa simbol hukum tidak seharusnya dimodifikasi secara berlebihan, apalagi di ruang akademik yang identik dengan etika dan profesionalitas. Busana klasik Dewi Themis bukan sekadar estetika, tetapi juga mewakili wibawa dan kesakralan keadilan. Mengganti busananya dengan crop top dianggap berisiko mengaburkan makna asli dan bisa memicu salah tafsir di kalangan masyarakat.

Selain itu, ada juga yang menyatakan bahwa mereka mengapresiasi kritik yang dilayangkan terhadap situasi hukum saat ini, akan tetapi media kritik yang dipilih dengan menggambarkan Dewi Themis dalam bentuk yang kurang etis dirasa kurang tepat, mengingat pernyataan dari yang bersangkutan menyatakan bahwa “hukum telah ditelanjangin oleh kekuasaan” hal ini menimbulkan pertanyaan baru, “hukum yang telanjang, mengapa Dewi Themis yang ditelanjangi?”. Bahkan ada yang juga yang menyatakan bahwa tindakan tersebut termasuk tindakan yang merendahkan Perempuan, mengingat Dewi Themis merupakan seorang perempuan juga.

Pertemuan antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap simbol hukum inilah yang membuat fenomena ini memicu polemik.

Di Balik Kontroversi

Fenomena Dewi Themis ber-crop-top memperlihatkan adanya ketegangan antara dua kepentingan: di satu sisi ada kebebasan berekspresi dalam seni, sementara di sisi lain ada penghormatan terhadap simbol-simbol yang sarat nilai historis dan filosofis.

Dari sudut pandang seni, karya ini sah-sah saja karena membawa pesan kritis tentang “hukum yang ditelanjangi oleh kekuasaan”, seperti yang dijelaskan pembuat ilustrasi. Seni sering kali memang berfungsi sebagai medium protes atau refleksi sosial, dan karena itu tidak selalu mengikuti pakem yang kaku.

Selain itu, kebebasan berekspresi juga sudah dijamin oleh konstitusi di Indonesia. Hal ini sudah jelas diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Namun, dari sisi etika akademik, simbol hukum seperti Dewi Themis memiliki nilai representatif yang melekat pada institusi hukum itu sendiri. Ketika simbol tersebut dimodifikasi terlalu jauh, apalagi dalam konteks resmi seperti koreo dalam sebuah acara kampus, risiko salah tafsir dan hilangnya kesakralan makna menjadi cukup besar. Contohnya, ada yang menafsirkan hal tersebut merupakan tindakan yang merendahkan perempuan.

Immanuel Kant merupakan tokoh utama dalam salah satu teori etika yang disebut sebagai teori deontologi. Menurut teori ini, individu harus bertindak sesuai dengan prinsip moral yang berlaku secara umum, terlepas dari konsekuensi tindakan tersebut. Secara sederhana, bagi deontologi, maksud baik (kritik terhadap ketidakadilan) tidak menghalalkan segala cara jika cara itu melanggar prinsip moral tertentu, dalam hal ini seperti menjaga simbol keadilan.

Selain itu, dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Jadi dalam menyampaikan kritik, harus ada aspek lain yang diperhatikan dan menjadi pertimbangan.

Kontroversi ini memperlihatkan bahwa kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap simbol publik perlu bertemu di titik tengah, agar pesan kritis bisa tersampaikan tanpa mengorbankan nilai-nilai yang telah lama dijunjung.

Kesimpulan dan Saran

Fenomena penggambaran Dewi Themis dengan busana crop top di koreo PKKMB Fakultas Hukum memicu perdebatan karena menyentuh dua ranah yang sensitif: kebebasan berekspresi dalam seni dan penghormatan terhadap simbol hukum yang sarat nilai filosofis. Sebagian pihak melihat visualisasi ini sebagai bentuk kreativitas sekaligus kritik sosial terhadap kondisi hukum yang dianggap “ditelanjangi oleh kekuasaan”, sebagaimana dijelaskan oleh pembuat ilustrasi. Namun, sebagian lain memandangnya sebagai tindakan yang kurang pantas, mengingat Dewi Themis selama ini melambangkan keadilan yang netral, berwibawa, dan penuh nilai historis.

Dari sisi hukum positif, penggambaran ini tidak melanggar aturan pidana atau perdata karena termasuk dalam ranah kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28E. Meski demikian, perdebatan muncul karena menyangkut nilai etika dan norma akademik, bukan pelanggaran hukum formal. Inilah yang kemudian membuat fenomena ini menarik untuk dikaji lebih jauh, baik dari perspektif seni maupun moralitas publik di ruang akademik.

Melihat dinamika pro dan kontra yang terjadi, ada beberapa hal yang dapat menjadi perhatian ke depan. Pertama, penting bagi pihak kampus untuk membuka ruang dialog sebelum memutuskan penggunaan simbol-simbol yang memiliki nilai historis dan filosofis tinggi, agar ada kesepahaman antara pihak panitia, dosen, dan mahasiswa. Kedua, jika sebuah karya seni membawa pesan kritik sosial, sebaiknya disertai penjelasan terbuka mengenai makna di baliknya sehingga tidak menimbulkan salah tafsir di kalangan masyarakat.

Selain itu, penyusunan pedoman penggunaan simbol-simbol publik di lingkungan akademik juga bisa menjadi langkah preventif agar karya seni tetap memiliki ruang berekspresi tanpa mengabaikan etika dan nilai-nilai yang sudah lama dijunjung. Pada akhirnya, kritik sosial melalui seni tetap dapat dilakukan, tetapi penting untuk mempertimbangkan konteks, audiens, dan media agar pesan yang disampaikan tidak hanya kreatif, tetapi juga tepat sasaran dan tidak memicu kontroversi yang berlebihan.

Bagaimana Menurut LitPeep’s?

Referensi

Z, A., Anisa, S., Aulia, S., Nadi, N., & Pratama, M. (2025, Juni). Dewi Themis dan Feminisme Hukum : Peran Gender dalam Keadilan Hukum. Jurnal Pendidikan, Seni, Sains dan Sosial Humanioral.

Lambang Keadilan Indonesia, dari Themis hingga Beringin. (2024, Juni). Retrieved Agustus, 2025, from https://www.hukumonline.com/berita/a/lambang-keadilan-indonesia--dari-themis-hingga-beringin-lt61a824e0a89af/?page=2

UlfaH, N., Hidayah, Y., & Trihastuti, M. (2021, Desember). URGENSI ETIKA DEMOKRASI DI ERA GLOBAL: MEMBANGUN ETIKA DALAM MENGEMUKAKAN PENDAPAT BAGI MASYARAKAT AKADEMIS MELALUI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Jurnal Kewarganegaraan, vol. 5.

Roshadi, R. A. (2024). FILSAFAT HUKUM Konsep-Konsep Dasar Filsafat Hukum dan Analisis Isu-Isu Kontemporer. ANAK HEBAT INDONESIA.


7 Komentar

  1. Kurang pantas membuat gambar-gambar seperti itu, lebih lagi saat PKKMB.

    BalasHapus
  2. Mosok FH koyok ngene rek

    BalasHapus
  3. Bebas berekspresi, silakan dilakukan. Tapi yang lain juga bebas mengekspresikan kegelisahannya. ✌🏻

    BalasHapus
  4. Hadeh, aneh aneh aja. Kok bisa seperti itu

    BalasHapus
  5. berpendapat emang bebas, tapi tau tempat kocak

    BalasHapus

Literatika FH UNESA

Bergabung bersama kami!