RUU Perampasan Aset Mandek, Takut Senjata Makan Tuan?

Ilustrasi: Azahra Anisa Asaira

Oleh : Zahni Hafizh Atsari

Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset telah lama menjadi mimpi rakyat Indonesia. RUU ini pertama kali diusulkan pada tahun 2012, RUU ini digadang sebagai senjata ampuh untuk menutup celah para koruptor menyembunyikan hasil kejahatannya. Namun, lebih dari satu dekade berlalu, mimpi itu tak kunjung terwujud.

Pada tahun 2023, Presiden Joko Widodo mengirimkan Surat Presiden beserta naskah akademik kepada DPR RI untuk mempercepat pembahasan serta pengesahan RUU Perampasan Aset (Tempo, 2023). Namun demikian, hingga kini tak nampak sedikit pun "hilal" pengesahan RUU tersebut. Apa sesungguhnya yang membuat RUU ini menjadi begitu sukar untuk disahkan?

Tersandera Kehendak Politik

Keterlambatan ini bukan hanya sekadar masalah teknis, justru masalah utamanya terletak pada political will atau kehendak politik. Bambang Pacul, salah satu anggota DPR RI, secara terang-terangan mengakui bahwa pengesahan RUU Perampasan Aset memerlukan izin ketua umum partai politik terlebih dahulu (Kompas, 2023). Ungkapan itu menyiratkan bahwa RUU ini menyentuh langsung kepentingan politik para elite.

Dengan kata lain, ketika instrumen hukum berpotensi menjadi bumerang bagi para elite politik, wajar jika proses legislasinya menjadi amat berliku (Netral, 2024). Politik hukum kita sering kali lebih ditentukan oleh kalkulasi keuntungan kelompok alih-alih kehendak dan kebutuhan publik.

Kecermatan dan Kehati-hatian

Selain alasan politik, Puan Maharani, ketua DPR RI juga menegaskan bahwa pengesahan RUU Perampasan Aset harus menunggu revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Argumentasinya sederhana: tanpa landasan hukum acara yang jelas, aparat penegak hukum bisa sewenang-wenang dengan dalih pemberantasan korupsi (Tempo, 2023). KUHAP memang perlu diperbarui agar sejalan dengan konsep non-conviction based asset forfeiture (perampasan aset tanpa putusan pidana) (ICJR, 2024). 

Namun tak sesedarhana itu, Revisi KUHAP sendiri juga menghadapi banyak tantangan dan polemik di tengah masyarakat. 

Kebutuhan Mendesak

Meski tarik politik serta pertimbangan hukum terjadi, kebutuhan akan RUU ini tak bisa dikesampingkan. Indonesia yang meratifikasi Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) yang mendorong pemulihan aset lintas negara, konvensi ini juga mengenal non-conviction based asset forfeiture (UNODC, 2004). Tanpa RUU Perampasan Aset, kerja sama internasional dalam menelusuri serta memulihkan aset koruptor menjadi pincang.

Kerangka hukum yang ada saat ini, UU Tipikor dan UU TPPU, dirasa belum cukup. Perampasan aset masih berbasis putusan pidana (conviction based), sehingga jik terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, atau lolos dari jerat hukum, aset hasil kejahatan tersebut akan sulit disentuh dan dipulihkan (Detik, 2024).

Takut Senjata Makan Tuan?

Di balik semua kerumitan ini, ada pertanyaan mendasar: apakah para elite sebenarnya takut RUU Perampasan Aset menjadi "senjata makan tuan"? Jika benar, maka penolakan ini bukan semata demi kehati-hatian dan kecermatan, melainkan upaya mempertahankan status quo yang menguntungkan.

Perampasan aset tak harus identik dengan kesewenang-wenangan. Inggris, misalnya, melalui Proceeds of Crime Act 2002 (POCA), telah lama menerapkan mekanisme civil recovery yang diawasi ketat oleh pengadilan (POCA, 2002).

Penutup

RUU Perampasan Aset bukanlah sekadar soal hukum, tetapi juga keberanian politik. Jika DPR terus berlindung di balik alasan teknis, rakyat berhak curiga bahwa yang sesungguhnya dijaga adalah kepentingan elite, bukan kepentingan rakyat.

Kebutuhan akan sistem hukum baru dalam perampasan pemulihan aset hasil kejahatan menjadi titik krusial dalam melaksanakan pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Referensi:

0 Komentar

Literatika FH UNESA

Bergabung bersama kami!