Keadilan restoratif (restorative justice) semakin sering mengisi ruang diskusi publik di Indonesia, terutama dalam konteks reformasi sistem peradilan pidana. Konsep ini menawarkan pendekatan yang berbeda dari proses hukum konvensional: penyelesaian perkara melalui dialog, kesepakatan bersama, dan pemulihan hubungan antara korban, pelaku, dan masyarakat. Alih-alih menitikberatkan pada penghukuman, pendekatan ini berorientasi pada pemulihan keadaan seperti sebelum tindak pidana terjadi.
Secara filosofis, restorative justice berakar pada gagasan bahwa kejahatan tidak hanya melanggar hukum negara, tetapi juga merusak harmoni sosial. Oleh karena itu, penyelesaiannya harus mengobati luka sosial dan psikologis yang ditimbulkan. Pendekatan ini diyakini dapat mengurangi beban penyelesaian perkara, dan mendorong rekonsiliasi. Namun, di balik idealisme ini, praktik di lapangan kerap memunculkan sisi gelap yang mengkhawatirkan.
Landasan Hukum yang Rancu
Sampai saat ini, istilah keadilan restoratif belum memiliki pijakan kokoh dalam KUHP maupun KUHAP. Pengaturannya hanya ditemukan dalam peraturan sektoral, seperti Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012, dan Nota Kesepakatan Bersama Ketua MA, Menkumham, Jaksa Agung, serta Kapolri pada tahun 2012.
Ketiadaan regulasi setingkat undang-undang ini membuka ruang interpretasi yang sangat luas. Aparat penegak hukum memiliki keleluasaan besar untuk menentukan perkara mana yang bisa diselesaikan secara restoratif. Akibatnya, bukan tidak mungkin konsep ini disalahgunakan menjadi instrumen untuk menghindari proses hukum formal, membungkam korban, atau bahkan melindungi pelaku dengan dalih “damai demi kebaikan bersama.”
Demi Memulihkan Menjadi Melukai
Dua contoh nyata berikut menggambarkan bagaimana konsep mulia ini bisa diselewengkan.
Pertama, pada 2019 seorang pegawai perempuan di Kementerian Koperasi dan UKM menjadi korban pemerkosaan oleh empat rekan kerjanya. Kasus ini baru mencuat pada 2022. Alih-alih mengusut secara tuntas, aparat justru menyarankan korban untuk berdamai, bahkan menikahkan korban dengan salah satu pelaku, atas nama keadilan restoratif. Saran ini bukan hanya mengabaikan hak korban, tetapi juga melukai rasa keadilan publik dan mengirimkan pesan berbahaya bahwa kekerasan seksual dapat “ditebus” dengan perkawinan.
Kedua, di Brebes, Jawa Tengah, seorang remaja berusia 15 tahun diperkosa bergiliran oleh enam pria setelah dicekoki minuman keras. Kasus ini bukannya diproses secara pidana, melainkan dimediasi di rumah kepala desa dengan melibatkan LSM. Kesepakatannya: keluarga korban menerima sejumlah uang kompensasi dan tidak melapor ke polisi. Lebih parah, ada ancaman balik jika kasus ini dibawa ke ranah hukum.
Kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa restorative justice yang disalahgunakan justru memperpanjang penderitaan korban, merusak kepercayaan publik terhadap hukum, dan berpotensi melanggengkan impunitas bagi pelaku.
Tidak Untuk Semua Perkara
Restorative justice tidaklah cocok untuk semua jenis tindak pidana. Untuk perkara ringan—seperti perselisihan kecil, perkelahian tanpa luka berat, atau pencurian dengan kerugian kecil—pendekatan ini bisa efektif. Namun, untuk tindak pidana berat seperti pembunuhan, terorisme, perdagangan manusia, dan terutama kekerasan seksual, restorative justice seharusnya tidak menjadi pilihan.
Kekerasan seksual, misalnya, tidak hanya melanggar hukum pidana, tetapi juga merupakan serangan terhadap martabat manusia dan integritas tubuh korban. Memaksakan “perdamaian” dalam kasus ini adalah bentuk reviktimisasi—membuat korban kembali menjadi korban melalui proses hukum yang tidak adil.
Urgensi Regulasi yang Tegas
Agar restorative justice benar-benar menjadi instrumen pemulihan, bukan alat pembenaran ketidakadilan, diperlukan kerangka hukum yang tegas dan mengikat. Pemerintah dan DPR harus segera menyusun aturan setingkat undang-undang yang mengatur:
- Batasan jenis perkara yang dapat diselesaikan secara restoratif.
- Larangan tegas pernggunaan restorative justice untuk tindak pidana berat, terutama kekerasan seksual dan kejahatan terhadap anak.
- Prosedur transparan dengan pendampingan hukum bagi korban sejak awal proses mediasi.
- Pengawasan independen untuk memastikan tidak ada intimidasi atau kesepakatan yang merugikan korban.
- Kewajiban pelaporan publik oleh aparat mengenai setiap penerapan restorative justice.
Penutup: Restorative Jstice atau Restorative Injustice?
Restorative justice memiliki potensi besar untuk membangun sistem hukum yang lebih manusiawi, mengurangi beban peradilan, dan memperkuat harmoni sosial. Namun, tanpa aturan main yang jelas, konsep ini bisa berubah menjadi restorative injustice—sebuah mekanisme yang justru memulihkan pelaku, bukan korban, dan menutup jalan keadilan.Dalam membangun negara hukum yang berkeadilan, kita tidak boleh membiarkan semangat pemulihan disalahartikan menjadi pembenaran atas pelanggaran hukum. Keadilan restoratif hanya akan bermakna jika ia berdiri di atas prinsip keadilan substantif, perlindungan terhadap korban, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Tanpa itu, ia hanyalah nama indah bagi sebuah ketidakadilan yang disamarkan.
0 Komentar