Polemik Royalti Musik di Kafe. Antara Hak Cipta dan Beban Usaha?

Ilustrasi: Azahra Anisa Asaira
Oleh: Sindu Muhammad Maulana Bintang

Belakangan ini terjadi kericuhan pada kebijakan royalti. Penarikan royalti di cafe dan restaurant kembali menghebohkan publik. Selain itu, kajadian seperti ini menimbulkan banyaknya perdebatan karena dirasa terdapat ketidakjelasan antara hukum yang berlaku dan penerapanya. Banyak pelaku usaha yang merasa terkejut dengan surat yang tiba tiba masuk dengan bertuliskan tagihan royalti. Situasi seperti ini benar benar menimbulkan keresahan serta kebingungan di kalangan pengusaha kuliner, masyarakat kreatif, dan peminat industri musik.

Aturan Royalti dan Penerapannya

Usaha komersial seperti kafe, restoran, pub, bar, hingga hotel diwajibkan membayar royalti atas penggunaan musik. Ketentuan ini tercantum dalam Undang-undang Hak Cipta beserta aturan turunannya, salah satunya PP Nomor 56 Tahun 2021. Namun, cara penetapan biaya baik melalui tarif menyeluruh (blanket) maupun perhitungan berdasarkan jumlah kursi sering menimbulkan kebingungan dan memicu pertanyaan mengenai keadilan penerapannya.

Pengelolaan serta penarikan royalti dikoordinasikan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Skema yang digunakan adalah sistem blanket, yakni pemberlakuan tarif tetap untuk mengakses seluruh katalog musik berhak cipta tanpa batasan jumlah lagu maupun frekuensi pemutaran, berlaku satu tahun dan dapat diperpanjang. Dengan demikian, pembayaran tidak dihitung berdasarkan jumlah lagu yang diputar. Untuk kafe dan restoran, ketentuan tarif mengacu pada Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI HKI.2.0T.03.01-02 Tahun 2016, di mana salah satu formula yang diterapkan adalah Rp120.000 per kursi per tahun.

Asosiasi PHRI dan pelaku usaha menilai tarif ini cukup memberatkan. Menanggapi hal tersebut, Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, menegaskan bahwa perhitungan tidak memakai asumsi okupansi 100% atau jumlah kursi dikalikan 365 hari, melainkan disederhanakan dengan acuan sekitar 60% okupansi. Selain itu, usaha kuliner berskala UMKM juga memperoleh keringanan khusus yang besarannya ditetapkan oleh Menteri atau Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).

Solusi dan Revisi UU?

Polemik royalti musik ini memang menimbulkan banyak perdebatan, sehingga sejumlah pihak menilai perlu ada solusi nyata. Ketua Umum PHRI, Hariyadi B. Sukamdani, misalnya, menegaskan bahwa Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Ia menilai pasal yang mengategorikan semua musik yang diperdengarkan di ruang publik sebagai aktivitas komersial sudah kurang relevan di era digital. Karena itu, menurutnya, revisi undang-undang sangat diperlukan, terutama menyangkut mekanisme pemungutan dan distribusi royalti.

PHRI juga mengusulkan perlunya definisi ulang mengenai istilah “komersial”. Usulan ini menekankan bahwa kewajiban membayar royalti sebaiknya hanya berlaku jika lagu tersebut terdaftar dalam Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM). Sementara itu, usaha seperti restoran atau hotel, yang memutar musik hanya sebagai latar suasana dan bukan sebagai produk utama, sebaiknya tidak dikenai kewajiban royalti yang sama.

Alternatif lain juga datang dari pengamat musik, seperti Wendi Putranto dan Dimas Ario Adrianto. Mereka menyarankan agar pelaku usaha dapat menggunakan musik dengan lisensi Creative Commons yang bebas royalti, sehingga tetap bisa memutar musik tanpa terbebani kewajiban pembayaran.

Tidak hanya itu, beberapa musisi bahkan telah mengajukan uji materi Undang-Undang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi pada Maret 2025. Langkah ini menunjukkan bahwa persoalan royalti musik sudah menjadi isu serius yang perlu ditangani secara komprehensif. Dengan demikian, polemik royalti musik jelas membutuhkan solusi yang menyeluruh. Mekanisme yang adil dan transparan perlu dirancang agar hak pencipta lagu tetap terjamin, namun di sisi lain tidak memberatkan pelaku usaha. Dengan keseimbangan seperti ini, diharapkan industri musik maupun dunia usaha dapat tumbuh bersama tanpa saling merugikan.

Penutup

Isu royalti musik di ruang publik, khususnya di kafe dan restoran, memperlihatkan adanya tarik-menarik kepentingan. Pencipta lagu tentu berhak memperoleh imbalan atas karya yang digunakan, namun pelaku usaha merasa keberatan dengan sistem tarif yang dianggap kurang proporsional dan tidak transparan.

Untuk itu, diperlukan solusi yang lebih menyeluruh. Revisi regulasi menjadi langkah penting agar aturan lebih sesuai dengan perkembangan era digital serta tidak menekan pertumbuhan UMKM. Penegasan ulang mengenai definisi “komersial”, penerapan teknologi digital dalam sistem pemantauan, serta transparansi pembagian royalti bisa menjadi jalan keluar yang lebih adil.

Akhirnya, penyelesaian persoalan ini menuntut kolaborasi antara pemerintah, lembaga pengelola, pelaku usaha, dan para musisi. Dengan kerja sama tersebut, ekosistem musik tetap terjaga, hak cipta terlindungi, dan dunia usaha bisa terus berkembang tanpa beban yang berlebihan.

Referensi :

https://www.jurnalkitaplus.com/2025/08/polemik-royalti-musik-kafe-senyap.html?utm_source=chatgpt.com
https://radarsurabaya.jawapos.com/nasional/776422730/hotel-di-mataram-terima-tagihan-royalti-musik-dari-lmkn-pelaku-usaha-bingung-dan-kecewa
https://www.beritasatu.com/nasional/2914457/deretan-polemik-royalti-musik-musisi-pernikahan-hingga-hotel
https://www.hukumonline.com/berita/a/ramai-soal-royalti-musik--ini-cara-kerja-lmkn-dan-lmk-lt689f01f8eb8ac/

0 Komentar

Literatika FH UNESA

Bergabung bersama kami!