Indonesia memasuki babak baru penegakan hukum, Kejaksaaan Agung (Kejagung) baru saja mendatangani kesepakatan wiretapping dengan empat operator telekomunikasi besar: Telekomunikasi Indonesia, Telkomsel, Indosat, dan XLSMART. Tujuannya adalah untuk mempercepat penanganan pelaku buron melalui akses langsung ke transmisi komunikasi. Namun, para pakar dan lembaga HAM memperingatkan bahwa hal ini bisa menjauhkan negara dari prinsip hak privasi dan kebebasan sipil.
Kejaksaan Agung menegaskan bahwa wiretapping akan digunakan hanya terhadap buronan, dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Harli Siregar, juru Bicara Kejaksaan Agung, menyebut inisiatif ini penting dalam mengejar penegakkan hukum. Namun pertanyaannya: siapa yang disebut buronan? Apakah definisinya jelas atau bisa diperluas dan disalahgunakan?
Privacy vs Penegakan Hukum dan Implikasi Bagi Indonesia
- Pentingnya kontrol hukum yang tegas: wiretapping adalah alat yang sensitif, tanpa batasan jelas siapa yang bisa disadap, kapan, dan bagaimana data disimpan ketegasan hukum bisa bergeser jadi tirani digital.
- Risiko perlindungan data dan kebocoran: meski operator menyatakan patuh pada UU Perlindungan Data 2022, yang mengancam denda maupun pencabutan aset, potensi kebocoran data tetap ada. Pemerintah dan operator harus menjamin bahwa data sensitif warga tidak rawan disalahgunakan.
- Butuh mekanisme pengawasan independen: pendampingan oleh lembaga independen seperti komnas perlindungan data diperlukan agar penggunaan wiretapping tidak jadi alat politik atau alat tekan pribadi.
Dalam era digital ini wajar bila negara ingin cepat menindak kejahatan dengan memanfaatkan teknologi. Namun, sebagai sebuah negara demokratis kita juga harus memastikan bahwa hak untuk diawasi tidak justru mematahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum itu sendiri.
Menyeimbangkan Hukum dan Kebebasan
Menurut Penulis, langkah ini jika dipertahankan harus disertai serangkaian reformasi struktural:
- Analog judicial oversight: setiap permintaan wiretapping harus melalui persetujuan hakim pengadilan, bukan hanya atas permintaan jaksa.
- Batasan waktu penyadapan: data komunikasi hanya boleh disimpan selama proses hukum berlangsung. Setelahnya harus dihapus atau diproses dengan aman.
- Pengawasan eksternal: bentuk badan pengawas independen, misal Komnas Perlindungan Data Pribadi, untuk memastikan MoU tidak disalahgunakan.
- Transparansi publik: laporan berkala tentang jumlah permintaan wiretap dan hasilnya harus dipublikasikan tanpa merusak identitas individu tetapi tetap mempertanggungjawabkan kegunaan kebijakan ini.
Kesimpulan
Skema wiretapping ini, jika digunakan dengan penuh tanggung jawab dan transparansi, bisa menjadi alat efektif dalam penegakkan hukum. Namun, tanpa kontrol dan transparansi, ia bisa berbalik menjadi ancaman terhadap privasi, kebebasan sipil, dan demokrasi kita. Transparansi, batasan hukum yang tegas, serta pengawasan independen adalah kunci agar kebijakan ini menjadi bagian dari penegakan hukum yang berwibawa, bukan alat kekuasaan yang menindas.
MoU antara Kejaksaan dan operator telekomunikasi adalah inovasi dalam penegakan hukum namun tanpa kerangka hukum yang tegas, bisa berubah menjadi senjata yang menakutkan. Jika digunakan dengan bijak dengan batasan. pengawasan, dan tujuan jelas tetap ada harapan bahwa teknologi bisa memperkuat hukum bukan melemahkan kebebasan.
Referensi
0 Komentar