![]() |
Ilustrasi: Julianus |
Oleh : Muhamad Rizky Aulia Saputro
Gelombang protes yang terjadi akhir-akhir ini jelang peringatan hari ulang tahun yang ke-80 Indonesia, diwarnai dengan fenomena pengibaran bendera jolly roger, simbol bajak laut topi jerami dari animasi one piece. Peristiwa ini menimbulkan berbagai perdebatan publik, ada yang menganggap bahwa pengibaran bendera tersebut sebagai bentuk kreativitas dalam menyuarakan protes dan ada sebagian yang menganggap bahwa ini merupakan penghinaan terhadap kehormatan bendera merah putih.
Menurut Ayom Mratita Purbandani, peneliti dari Center for Digital Society (CfDS) FISIPOL UGM, penggunaan budaya populer telah menjadi pilihan masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya secara kreatif maka seharusnya fenomena ini dianggap sebagai ekspresi perlawanan simbolik dan bentuk kebebasan sipil, bukan sebagai ancaman negara. Adapun pendapat dari Budi Gunawan, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) menyebut gerakan tersebut sebagai bentuk provokasi yang dapat merendahkan martabat bangsa.
Pernyataan ini didukung tegas oleh Menteri Hak Asasi Manusia (Menham) Natalius Pigai, menurutnya negara berhak melarang pengibaran bendera bajak laut fiksi one piece karena dianggap melanggar hukum dan dapat dikategorikan sebagai bentuk makar, meskipun hal ini masih menjadi perdebatan di ranah hukum. Polemik ini pada dasarnya menguji sejauh mana batas kebebasan berekspresi, sebuah pertanyaan yang akan kita dalami.
Kebebasan Berekpresi : Batasnya di Mana?
Bendera jolly roger atau yang dikenal sebagai bendera bajak laut, yang digambarkan pada hari ini sebagai tengkorak di atas tulang paha yang dilintasi pada bidang hitam. secara historis adalah tanda pengenal pada kapal bajak laut pada abad ke-17 hingga 18. penggunaan istilah jolly roger pertama kali muncul pada media cetak tahun 1724 dalam The General History of Pyrates karya Charles Johnson. Tetapi pada zaman modern dalam ranah budaya populer khususnya di kalangan penggemar one piece makna jolly roger telah mengalami pergeseran tidak hanya semata-mata melambangkan kejahatan, melainkan juga menjadi simbol kebebasan, pertemanan, dan petualangan.
Maka dari itu terjadi transformasi simbol yang awalnya dianggap sebagai ikon kriminalitas menjadi simbol perlawanan terhadap peraturan yang mengekang kebebasan, hal ini sesuai dengan pandangan beberapa penggemar one piece yang memaknai bendera bajak laut topi jerami sebagai bentuk simbolik dari perlawanan terhadap pemerintah yang mereka rasa masih bertindak kurang adil terhadap masyarakat.
Namun, hal ini menimbulkan suatu polemik mengenai interpretasi dari bendera bajak laut, karena pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa bendera tersebut hanya bendera bajak laut tradisional yang dalam sejarahnya dikenal sebagai kelompok anarkis yang sering berkaitan dengan tindakan kriminal. Perbedaan tafsir ini diperburuk oleh pengibaran yang bertepatan dekat dengan perayaan hari kemerdekaan, maka pertanyaan besarnya muncul: di manakah seharusnya batas kebebasan berekspresi, terutama ketika ia bersentuhan dengan simbol-simbol yang memiliki makna sakral bagi mayoritas?Saat Simbol Negara Terusik: Reaksi atau Proteksi?
Pada sudut pandang yang lain, bendera merah putih bukan hanya sebagai lambang atau atribut fungsional. tetapi ia adalah sebuah interpretasi dari perjuangan para pahlawan yang mengorbankan harta, raga dan nyawa, bendera ini bukanlah sekadar kain yang diwarnai warna merah dan putih setiap jahitan, lipatan, dan warnanya menyimpan narasi sejarah, keberanian, perjuangan, dan kesucian. Bendera ini adalah bentuk dari simbol persatuan beragam etnis yang berada di Indonesia menjadi satu bangsa, yang menjadikannya sangat dihormati dan sakral pada setiap acara kenegaraan.
Maka dari itu pengibaran bendera one piece menjelang tangal 17 Agustus menjadi sesuatu yang krusial. Tanggal tersebut bukan hanya dianggap sebagai hari libur biasa, melainkan sebuah momen di mana kita berintropeksi dan mengingat jasa-jasa para pahlawan. Pada momen ini segala bentuk simbol yang berpotensi merusak narasi persatuan dan perjuangan, walaupun bertujuan untuk mengkritik maka hal itu bisa dianggap tidak sensitif, atau bahkan provokatif. Bagi sebagian mayoritas pengibaran bendera one piece di samping atau menggantikan Sang Saka Merah Putih di masa perayaan ini adalah bentuk ketidakpekaan terhadap nilai sakral yang dianut oleh mayoritas masyarakat.
Hal itu bisa kita lihat pada respon keras yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Budi Gunawan, beliau melihat peristiwa ini tidak dari kacamata budaya pop, melainkan dari sudut pandang keamanan dan stabilitas negara. Menurutnya sikap mengibarkan bendera one piece bisa menjadi preseden yang buruk memicu seperti ketidaktaatan terhadap hukum dan simbol negara.
Meskipun pernyataan yang dilontarkan oleh Menteri Hak Asasi Manusia (Menham) Natalius Pigai mengenai tindakan tersebut dianggap sebagai "makar" terkesan terlalu berlebihan dan masih menjadi perdebatan di ranah hukum, pernyataan tersebut adalah bentuk kekhawatiran yang mendalam dari para aparatur negara mengenai ekspresi simbolik semacam ini terutama yang salah mengartikannya menjadi sebuah tindakan anarkisme yang bisa menyebabkan terganggunya ketertiban sosial serta otoritas pemerintahan.
Solusi Bukan Sekadar Larangan
Maka setelah kita membahas berbagai aspirasi yang telah dikemukakan, diperlukanlah refleksi dari pemilik aspirasi, khususnya pada generasi muda mengenai bagaimana cara menyampaikan pendapat mereka melalui ekspresi secara lebih efektif. Jika tujuannya adalah untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintahan, apakah harus untuk menggunakan bendera bajak laut sebagai bentuk ketidakpuasan?
Alih-alih menggunakan langkah tersebut yang bisa berisiko menjadi multitafsir dalam pelaksannaannya, mereka seharusnya bisa mengemas dalam bentuk pesan-pesan perubahan melalui platform yang lebih substantif. Seperti, melalui seni visual yang lugas serta sarat makna, musik yang menyentuh isu sosial, atau bahkan melalui gerakan-gerakan yang terorganisir yang fokus pada masalah yang diperdebatkan tanpa menyinggung soal martabat negara. Langkah seperti ini, bisa menjadi pilihan terbaik dalam menyampaikan kritik tanpa terdistraksi dengan perdebatan simbolik yang tidak perlu.
Di sisi lainnya, respon aparatur negara perlu dievaluasi agar tidak memperkeruh situasi maka dari itu diperlukan adanya pendekatan yang lebih bijaksana. Daripada melihat fenomena ini sebagai ancaman "makar" pemerintah dan lembaga terkait seharusnya melihat peristiwa ini sebagai bentuk kesenjangan komunikasi dan ketidakpuasan. Menggunakan ancaman larangan atau hukuman yang berat tanpa disertai pemahaman terhadap masalah yang terjadi hanya akan memicu terjadinya polarisasi.
Dalam hal ini seharusnya pemerintah mengambil langkah proaktif seperti mengadakan forum-forum dialog dengan perwakilan komunitas-komunitas kreatif dan budaya pop untuk menjembatani perbedaan pandangan pada permasalahan ini. Pendekatan edukatif mengenai pengenalan terhadap simbol negara yang dikemas secara modern dan relevan dengan generasi saat ini bisa menjadi solusi untuk jangka panjang.
Pada akhirnya, polemik pengibaran bendera one piece ini bukan hanya sekadar perbedaan pandangan antara penggemar anime dan pejabat negara, melainkan sebuah cerminan dari tantangan sebuah bangsa di era digital yang di mana sebuah makna bisa saja bergeser dan ekspresi bisa datang dari mana saja. Solusinya bukan datang dari pelarangan yang ototriter melainkan pada pembangunan komunikasi antargenerasi. Sambil menghormati simbol-simbol yang menjadi perjuangan pada masa lalu, kita juga harus terbuka pada berbagai cara baru dalam menyampaikan aspirasi di masa depan.
Referensi
https://onepiece.fandom.com/id/wiki/Jolly_Roger
https://fh.untar.ac.id/2025/08/12/pengibaran-bendera-one-piece-jelang-hut-ri-ke-80-picu-perdebatan-ini-analisis-hukumnya/
https://www.cna.id/indonesia/ketika-bendera-one-piece-membuat-pemerintah-meradang-36366
https://www.cabinetmagazine.org/issues/16/oneill.php
0 Komentar