Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian: Belajar dari Kasus Sri Mulyani


Ilustrasi: Azahra Anisa Asaira
Oleh : Zahni Hafizh Atsari

Akhir-akhir ini media massa kita, baik daring maupun cetak, diramaikan dengan pemberitaan mengenai pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengenai guru dan dosen. Dalam banyak video yang beredar, Sri Mulyani ditayangkan tengah mengeluh dan sesumbar bahwa guru adalah beban negara, yang kemudian video itu distitch oleh banyak orang dengan isi tanggapan yang bermacam-macam.

Baru-bari ini diketahui bahwa video yang beredar di banyak media massa itu adalah palsu hasil deepfake, hal itu disampaikan Sri Mulyani melalui akun Instagramnya. Ia menyatakan bahwa video itu adalah potongan pidatonya di Forum Kovensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB pada 7 Agustus 2025 yang kemudian dipalsukan dan dimanupalasi sehingga konteks dan isinya berubah.

Kejadian disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK) semacam ini bukan hal yang jarang terjadi. Menurut pantauan Kementrian Komunikasi dan Digital (Komdigi) —sebelumnya dikenal sebagai Kominfo— pada periode 2018 hingg akhir 2023 beredar lebih dari 12.547 berita bohong (hoaks). Berita-berita palsu itu paling banyak beredar pada kategori kesehatan dengan total 2.357 berita, kebijakan pemerintah dan penipuan dengan total 2.210 berita, dan politik dengan total 1.628 berita.

UU ITE Tak Ampuh Tangkal Disinformasi?

Sejak 2008 Indonesia telah memiliki undang-undang yang mengatur informasi dan transaksi elektronik (ITE)  melalui UU No. 11 Tahun 2008 yang kemudian diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 dan diubah kembali melalui UU No. 1 Tahun 2024 tentang hal yang sama. Kendati telah mengalami dua kali perubahan dan penyesuaian, UU ITE tetap tidak dapat menyelesaikan permasalahan seperti disinformasi, fitnah, dan kebencian. Justru, UU ITE ini kerap dijadikan alat kriminalisasi dengan pasal-pasalnya yang rancu dan tak jelas batasan hukumnya.

Eva Achjani Zulfa, ahli hukum pidana FH UI, menerangkan bahwa rumusan UU ITE tidak jelas, contohnya frasa "menuduhkan suatu hal" terlalu luas dan membuka peluang interpretasi yang berbeda-beda dan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Ia juga menggarisbawahi perihal kegagalan memhami perkembangan menyebabkan UU ITE tidak jelas dan rawan disalahgunakan.

Solusi Konkret Untuk Atasai Disinformasi

Diskursus mengenai solusi untuk atasi disinformasi juga menjadi bahasan menarik akhir-akhir ini, salah satunya studi yang dilakukan oleh Anggi Pratiwi dkk menyebutkan bahwa implementasi literasi budaya dan kewargaan bisa jadi solusi untuk disinformasi. Hal itu dapat dilakukan melalui kegiatan pengolahan informasi yang baik, salah satunya yaitu identify, scope, manage and present.

Mengembangkan hasil studi di atas, Penulis menyimpulkan bahwa literasi —kemampuan baca tulis dan memahaminya— menjadi krusial dalam konteks ini. Hal ini juga termasuk pada kemampuan mengurasi informasi, mana yang benar dan valid, dan mana yang merupakan disinformasi, fitnah, dan kebencian.

Makna Literasi: Lebih Dari Membaca

Literasi, perlu diartikan lebih luas dari sekadar kemampuan baca tulis, literasi juga harus dipahami sebagai kemampua kognitif untuk memahami konteks, struktur, dan pesan sosial dalam sebuah paket informasi. Dengan demikian, publik dapat dengan mudah terhindar dari berita-berita bohong yang beredar luas.

Kebanyakan dari kita tidak menelaah lebih komperehensif mengenai informasi yang kita dapat, hal ini ditambah dengan kecenderungan menyebarkan informasi tanpa memverifikasi kebenarannya menambah parah keadaan disinformasi, fitnah, dan kebencian yang telah lama beredar luas di tengah masyarakat.

Kesimpulan

Disinformasi, fitnah, dan kebencian dapat menyasar apapun dan siapapun, tak terkecuali tokoh nasional seperti Sri Mulyani. Melihat keadaan ini, ditambah dengan kegagalan UU ITE menciptakan lingkungan digital yang aman, masyarakat luas perlu membentengi diri sendiri dan orang-orang terdekatnya agar terhindari dari konten-konten menyesatkan, salah satuny adalah dengan meningkatkan kemampuan literasi. 

Lebih jauh, pemerintah —eksekutif dan legislatif— juga harus secara cermat merumuskan cara-cara yang efektif untuk menghentikan penyebaran konten DFK, termasuk melalui kerangka dan sistem hukum yang komprehensif, namun jelas dan melindungi hak-hal tiap warga negara.

Referensi

Khoirun Nisa. (2018). Peran Literasi di Era Digital Dalam Menghadapi Hoaks dan Disinformasi di Media Sosial. Impressive Journal of Education.
Anggi Pratiwi DKK. (2019). Implementasi literasi budaya dan kewargaan sebagai solusi disinformasi pada generasi millennial di Indonesia. Jurnal Kajian Informasi & Perpustakaan.

0 Komentar

Literatika FH UNESA

Bergabung bersama kami!